DAPATKAN DATA CITRA SATELIT RESOLUSI SANGAT TINGGI DARI VENDOR DIGITALGLOBE & AIRBUS DEFENCE AND SPACE SERTA DATA CITRA SATELIT BERBAGAI VENDOR LAINNYA BESERTA PENGOLAHAN DAN MAPPING DENGAN HARGA YANG KOMPETITIF DI MAP VISION.
UNTUK INFORMASI LEBIH LANJUT DAPAT MENGHUBUNGI KAMI PADA NOMOR TELEPON : 0857 2016 4965 | E-MAIL : mapvisionindonesia@gmail.com
Pernah mendengar gerakan yang menolak reklamasi di Teluk Benoa yang diprakarsai oleh ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi)?, jika belum, gerakan tersebut berupaya agar pemerintah membatalkan Perpres 51 tahun 2014 yang kala itu ditandatangani oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Indonesia. Inti dari Perpres itu sendiri yaitu berubahnya status Teluk Benoa yang merupakan kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum dan diijinkannya reklamasi seluas 700 hektar.
Alasan ForBALI melancarkan gerakan ini karena dampak buruk akan lebih besar didapatkan ketimbang keuntungannya – jika Perpres tersebut sudah benar-benar dilakukan. Salah satu dampak buruk yang diperkirakan terjadi yaitu rusaknya ekosistem terumbu karang akibat tertutup oleh sedimen yang digunakan untuk proses reklamasi tersebut, padahal terumbu karang merupakan penopang kehidupan bagi jutaan biota laut serta menjadi salah satu daya tarik wisata bahari di Bali.
Jika di Bali rencana reklamasi masih ditentang oleh banyak kalangan, pemerintah Tiongkok malah saat ini sedang melakukan reklamasi besar-besaran di wilayah Laut China Selatan. Tidak kurang dari 7 pulau buatan sedang dibangun di wilayah perairan Kepulauan Spratly yang wilayahnya masih menjadi sengketa dengan banyak negara yang ada di sekitar Laut China Selatan, yang membuat tensi semakin memanas di antara Tiongkok dengan negara-negara yang bersengketa.
Sama halnya dengan kejadian yang ditakutkan akan terjadi oleh proses reklamasi di Bali, pembuatan pulau-pulau buatan oleh Tiongkok tersebut mengakibatkan kehancuran terumbu karang akibat tertimbun sedimen untuk proses reklamasi yang bahannya diambil dari dasar laut.
Proses berubahnya wilayah yang awalnya dipenuhi terumbu karang menjadi sebuah pulau buatan dapat dilihat dari animasi menggunakan data citra satelit resolusi sangat tinggi dari vendor DigitalGlobe dan Airbus Defence & Space, seperti yang dapat dilihat di bawah ini :
Terlihat dari data citra satelit di atas, dalam jangka waktu kurang satu tahun, Tiongkok hampir merampungkan salah satu pulau buatannya (Fiery Cross Reef) beserta dengan fasilitas-fasilitas yang terdapat di pulau tersebut seperti landasan pacu pesawat terbang dengan ukuran yang cukup untuk menampung berbagai jenis pesawat, kemudian terdapat tempat pembuatan semen, bangunan-bangunan penunjang aktivitas, pelabuhan, serta dermaga sementara untuk muat dan angkut barang.
Selain di Fiery Cross Reef, Tiongkok juga membuat pulau buatan lain seperti di Mischief Reef, Subi Reef, serta Johnson South Reef, yang diperlihatkan data citra satelit berikut ini :
Walaupun diperkirakan di perairan Laut China Selatan terkandung cadangan minyak dan gas yang besar, namun disinyalir bahwa pembangunan pulau-pulau buatan oleh Tiongkok untuk saat ini bukan dimaksudkan untuk eksplorasi sumber daya alam di wilayah tersebut, akan tetapi untuk lebih menunjukkan klaim Tiongkok terhadap wilayah tersebut. Selain itu, pulau buatan tersebut diprediksi nantinya digunakan untuk memonitor kegiatan penangkapan ikan serta memantau penerbangan yang melintas di wilayah tersebut.
BACA JUGA :
1). Menyingkap Penangkapan Ikan Secara Ilegal & Perbudakan Nelayan Menggunakan Citra Satelit
2). Citra Satelit Untuk Konservasi
3). Citra Satelit Sebagai Bukti di Pengadilan
4). Pembakaran dan Pemboman di Wilayah Utara Darfur Dilihat dari Citra Satelit
5). Melihat Objek Yang Tidak Kasat Mata Menggunakan Citra Satelit
Pemerintah Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan mereka yaitu Ash Carter sudah menghimbau Tiongkok untuk menghentikan kelanjutan dari pembangunan pulau-pulau buatan tersebut, karena Tiongkok dianggap telah “melenceng” konsesus kawasan dalam masalah keamanan.
Begitu juga dengan negara kita bersama dengan negara-negara ASEAN lain pada Konferensi Tingkat Tinggi di Malaysia pada bulan April 2015 yang lalu, menyerukan kepada Tiongkok untuk menghentikan kegiatannya tersebut, karena sudah melanggar Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, pada 4 November 2002. Deklarasi tersebut berisi komitmen dari negara anggota ASEAN dan Cina untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan navigasi di Laut China Selatan, menyelesaian sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.
Tiongkok sendiri bergeming atas kecaman dunia internasional terhadap pembangunan pulau buatan yang mereka lakukan, dengan alasan bahwa mereka memiliki kedaulatan atas wilayah mereka. Selain itu, Tiongkok berdalih bahwa aksi reklamasi telah dilakukan juga oleh negara-negara lain seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan, di Kepulauan Spratly, walaupun aksi negara-negara tersebut tidak seluas dan seagresif Tiongkok.
Dari peristiwa ini, terlihat bagaimana citra satelit secara terang benderang menunjukkan kepongahan sebuah negara yang kini telah menjadi raksasa ekonomi, membuat sebuah “bangunan” di atas “lahan” yang masih disengketakan, tanpa melakukan perundingan terlebih dahulu dengan negara-negara yang bersengketa.
Sumber :
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/05/150527_dunia_amerika_lautcinaselatan